Memupus Kemiskinan Ekstrem di Desa


Oleh : A Halim Iskandar*
Sekalipun PBB tegas memancang dunia tanpa kemiskinan ekstrem pada Sustainable Development Goals (SDGs) 2015, banyak negara khawatir batal menggapai target 2030. Namun, Indonesia justru menargetkan kemiskinan ekstrem pupus selambatnya 2024. Target akbar itu segera membutuhkan langkah raksasa. Bukan sekadar pendanaan besar, yang lebih mudah didapatkan beralasan kemanusiaan terdalam. Namun, tahapan di lapangan harus segera dijalankan. Jangan mengulang upaya masa lalu, kala anggaran ratusan triliun rupiah cuma mengentaskan ratusan ribu hingga 2 jutaan warga miskin saban tahun.
Tahapan Lapangan
Narasi kemiskinan ekstrem, sebagai kerak kemiskinan, yang terlalu sulit dientaskan, kini saatnya disingkirkan. Narasi negatif itu dikonstruksi dari pengetahuan terbatas atas hasil survei-survei kemiskinan. Survei menyajikan analisis penyebab warga jatuh ke jurang kemiskinan terdalam, seakan misteri yang mustahil menjangkau keluarga termiskin seindonesia. Tidak jarang, narasi negatif ini menguat lantaran digunakan sebagai dalih terlalu rendahnya penurunan tingkat kemiskinan satu dekade terakhir. Padahal, keluarga miskin ekstrem itu nyata, bisa ditemui di lapangan, disentuh, kemudian ditangani sehari-hari. Yang dibutuhkan mula-mula sensus keluarga se-Indonesia, bukan sekadar mengambil contoh survei secara acak dari berbagai kabupaten. Pendataan perlu dijauhkan dari bias objektivisme dan ilusi harapan. Sejatinya, jatuh miskin ekstrem tabu diketahui publik. Pendataan yang dijalankan orang luar, yang baru berjumpa beberapa menit, sulit mengungkapnya secara valid. Program pengumpulan data yang telanjur dikenal sebagai dasar proyek bantuan kemiskinan dapat pula mendorong warga berbondong-bondong menghapus informasi rezeki sendiri agar kelak dikelaskan miskin ekstrem. Saat ini, pendataan by name by address (BNBA) paling cocok diterapkan pada tiap rukun tetangga. Kala dijalankan secara partisipatoris oleh 1,5 juta relawan pendataan SDGs Desa pada RT-RT tempat tinggal mereka sendiri, yang saling mengenal, ternyata validitas data akhirnya terjaga.
Pendataan mikro RT juga memastikan tiap pendata hanya mengurus sesedikit 1-5 informasi tetangga mereka sehingga memiliki waktu yang cukup untuk memasukkan data ke aplikasi SDGs Desa tanpa kesalahan. Penting percaya desa dan menguatkan ideologi data milik desa, contohnya diresmikan dalam Permendesa PDTT Nomor 21/2020. Data, hasil olahan, hingga rekomendasi dari data tersimpan di desa sehingga bisa langsung dimanfaatkan desa. Hanya desalah yang bisa mengakses data BNBA warga mereka untuk menyalurkan beragam fasilitas ekonomi dan sosial. Sampai 28 Agustus 2021, tersimpan 88 juta data warga desa, 29 juta keluarga desa, 471 ribu rukun tetangga, dan 43.590 desa. Melalui pendataan mikro, terbongkarlah mitos kemuskilan menemui keluarga dan warga termiskin sedesa, sedaerah, hingga se-Indonesia karena himpunan data dari desa itu menangkap golongan dari paling bawah hingga teratas. Itu hasil penghitungan keragaman aset rumah, lahan, sumber penghasilan, dan tabungan, maupun yang semata-mata diukur melalui penghasilan serta pengeluaran bulanan. Informasi tiap keluarga dan warga miskin ekstrem sudah dilengkapi umur, status kerja, dan penghasilan. Atribut informasi lainnya berupa kondisi disabilitas, penggunaan sarana pendidikan dan kesehatan, asuransi kesehatan, serta pekerjaan. Atribut tiap keluarga miskin berbeda-beda. Namun, dapat direkapitulasi pada level rukun tetangga, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Karena itu, program dan kegiatan yang asimetris tiap keluarga miskin ekstrem mampu dirancang secara nasional, atau khusus untuk provinsi tertentu, level kabupaten, sesuai dengan kondisi kecamatan, hingga tingkat desa. Bahkan, di desa pun, penanganan keluarga dan warga miskin ekstrem bisa spesifik sesuai dengan kondisi khas tiap warga.
Saat ini, dana pengentasan rakyat dari kemiskinan ekstrem mencapai Rp440 triliun. Penggunaannya terbagi atas kelompok program penurunan beban pengeluaran sebesar Rp272 triliun dan kelompok program peningkatan produktivitas dan pemberdayaan Rp168 triliun. Nol kemiskinan dari desa BPS baru saja melaporkan kemiskinan ekstrem mencapai 10,9 juta jiwa. Target optimistis yang hendak dicapai ialah miskin ekstrem turun hingga 7,2 juta jiwa pada 2024. Khusus untuk di desa, ada 7,3 jiwa miskin ekstrem saat ini kemudian hendak dientaskan hingga tinggal 4,8 juta jiwa. Namun, dengan berefleksi pengalaman baik desa mengelola warga yang menjalani isolasi mandiri, lebih tepat mematok target nol kemiskinan dari desa pada 2024. Pencapaiannya membutuhkan syarat penanganan mikro selevel RT, mulai pendataan, penetapan keluarga miskin ekstrem, pilihan kegiatan, keberlanjutan program, dan kerelawanan warga. Indeks Desa Membangun 2021 menghasilkan 56.367 desa berstatus sangat tertinggal, tertinggal, dan berkembang.
Di status desa inilah keluarga miskin ekstrem bertempat tinggal. Artinya, rata-rata satu desa itu dihuni 130 jiwa atau 32 keluarga miskin ekstrem. BPS pada Maret 2021 melaporkan garis kemiskinan desa Rp450.185 per kapita/bulan. Artinya, pemenuhan 2.100 kkal/kapita/hari senilai Rp15.006 per kapita/hari. Karena itu, untuk tiap desa dibutuhkan anggaran harian penanganan warga miskin ekstrem rata-rata Rp1.943.403. Dalam hal makanan, demi mengurangi pengeluaran warga miskin ekstrem, Kementerian Desa PDTT mencanangkan Gerakan Asupan Kalori Harian. Sebanyak 10 keluarga menengah dan kaya desa perlu menambah piring makanan masing-masing untuk tiga keluarga miskin ekstrem. Dapat pula pemerintah desa memanfaatkan dana desa menyediakan beras sementara warga desa bergotong royong menyiapkan lauk pauk harian. Di awal abad ini, Hernando de Soto memamerkan besarnya aset warga miskin andai diakui resmi oleh negara. Jika tanah dan tempat tinggal mereka disertifikasi dan alat-alat produksi sederhana didaftarkan, nilainya melebihi aset orang kaya sedunia.
Presiden Joko Widodo telah memulai sertifikasi puluhan juta persil lahan. Sertifikasi lahan dan rumah jelas juga dibutuhkan keluarga miskin ekstrem di desa. Di samping itu, dibutuhkan bedah rumah karena bagi Sajogyo, kampiun kemiskinan, rumah warga miskin di desa tidak sekadar tempat tinggal yang membebani ongkos pemeliharaan. Namun, yang terpenting, rumah ialah aset produktif karena berfungsi sebagai studio kerja. Contohnya, untuk mengelem bungkus rokok, menganyam lampit, menjahit kerudung, dan memipihkan melinjo. Apalagi, komponen rumah mendominasi pengukuran aset keluarga miskin ekstrem, seperti jenis atap, lantai dan dinding, dan jendela. Karena itu, bedah rumah perlu disegerakan. Dibutuhkan rata-rata Rp157.937.074 per desa untuk bedah rumah bagi 32 keluarga miskin ekstrem.
Peraih Hadiah Nobel untuk Ilmu Ekonomi yang menelaah kemiskinan, Amartya Sen, mencatat pembangunan fasilitas pendukung keluarga miskin ekstrem tidak pernah memadai. Masih dibutuhkan peningkatan kapabilitas keluarga miskin agar mampu memanfaatkan segenap fasilitas. Bahkan, lebih diutamakan memusatkan kegiatan yang langsung diterima keluarga miskin ekstrem itu sendiri. Karena itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menyediakan 35 ribu pendamping yang siap mendatangi keluarga miskin setiap hari mengenali masalah-masalah baru, lalu memecahkannya bersama. Air bah kegiatan pengentasan rakyat dari kemiskinan ekstrem desa mulai tahun ini perlu diwadahi kelembagaan yang tepat berada di tengah hunian mereka. Posyandu kesejahteraan segera dikuatkan menjadi lokus beragam kegiatan. Ini bukan lembaga baru, hanya menambahkan fungsi layanan sosial pada 660.116 posyandu saat ini. Gerakan asupan kalori harian, BLT dana desa, bedah rumah, terpadu dilaksanakan posyandu kesejahteraan. [sourcemediaindonesia]
—– —-
* Menteri Desa PDTT RI