Sinau Mbangun BUMDES (2) : Studi Kelayakan Bisnis sebagai Basis Guidance BUMDES

0

Oleh : Catur Agung W *

” Tiga Pilar Pemikiran dalam membangun BUMDES yang saya temu-kenali pasca kelahiran BUMDES : BUMDES menjadi Leading Sector Gerakan Ekonomi Desa, Studi Kelayakan Usaha sebagai Basis Guidance dan Profesionalisme & Profitabilitas (menguntungkan) Usaha menjadi Goals…..”

Sebuah adagium menyatakan : Gagal Merencanakan sama dengan Merencanakan Kegagalan. Begitulah singkatnya mendefinisikan betapa pentingnya Studi Kelayakan Bisnis (SKB) sebagai pijakan perencanaan bisnis BUMDES. Jika pendirian BUMDES adalah hal yang pertama dilakukan, maka penyusunan SKB adalah hal yang utama tidak kalah pentingnya. Menurut Kasmir dan Jakfar (2003:p7) studi kelayakan bisnis adalah suatu kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu usaha atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak usaha tersebut dijalankan[1]. Untuk itulah maka Studi Kelayakan Bisnis dari BUMDES enjadi penting sebagai Basis Guidance (: pegangan dasar-red).

Dua hal yang meringkas makna SKB diatas, yaitu Kajian Mendalam Bisnis yang dijalankan dan Penentuan Layak/Tidak Bisnis tersebut dijalankan. Sejarah mencatat, beberapa perusahaan besar bangkrut diantaranya : PT Sariwangi Agricultural Estate Agency (PT SAEA) yang memproduksi Teh Sariwangi mengalami kebangkrutan karena terlilit utang hingga mencapai Rp 1,5 Triliun, berikutnya PT Nyonya Meneer (produsen jamu Nyonya Meneer) karena terlilit utang hingga mencapai Rp 267 miliar, ada juga Perusahaan kamera Kodak yang merupakan salah satu merk kamera terkenal di Indonesia yang pernah merajai produk kamera, di tahun 2012 di latar belakangi karena tidak mengikuti perkembangan zaman yang semakin canggih seperti saat ini[2].

Kebangkrutan karena terlilit hutang yang gagal pelunasan merupakan bagian kajian dalam SKB bagiamana tidak terencananya dengan baik secara finansial sumber modal yang akan digalang disesuiakan dengan target pencapaian yang realistis terhadap keuntungan pasar yang akan didapat untuk menutupi potensi defisit modal. Sedangkan kejadian bangkrutnya Kodak menunjukkan karena lemahnya kajian mendalam SKB kekinian untuk bersaing dalam pasar yang makin modern. Muaranya adalah tidak diperhatikannya tingkat kelayakan bisnis tersebut untuk dijalankan atau dilakukan inovasi bahkan dihentikan dengan analisa perencanaan yang ada.

SKB berlaku dinamis baik dibuat saat awal pendirian maupun selama perjalanan usaha dengan segala dinamikanya, disana akan dikaji dalam berbagai aspek perhitungan kelayakan usaha dari sisi finansial baik berupa Break Even Point (BEP), Net Present Value (NPV), Payback Period, Incremental Rate of Return (IRR), dan Rasio B/C.

Dari berbagai jenis perhitungan finansial diatas, mengambil studi perhitungan BEP saya kira cukup untuk menjadi pegangan bagi BUMDES untuk mengkalkulasi kesehatan usahanya dan kelayakan usahanya. Sederhananya, BEP adalah keadaan suatu usaha ketika tidak memperoleh laba dan tidak menderita rugi atau disebut dengan Titik Impas. Fungsinya antara lain sebagai berikut :

  • Sebagai alat analisis untuk mengambil kebijakan dalam suatu perusahaan
  • Mengetahui jumlah penjualan minimal yang harus dipertahankan agar perusahaan tidak mengalami kerugian.
  • Mengetahui jumlah penjualan yang harus dicapai untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu.
  • Mengetahui bagaimana efek perubahan harga jual, biaya, dan volume penjualan terhadap keuntungan.

Secara umum, SKB yang disusun akan menggambarkan secara komprehensif analisa baik dari Aspek legalitas/ hukum, Aspek pasar dan pemasaran, Aspek keuangan/ finansial, Aspek teknis/ operasi, Aspek manajemen dan organisasi, Aspek sosial ekonomi sampai dengan Aspek dampak lingkungan (AMDAL).

Pengalaman empiris penulis saat mendampingi BUMDES di desa dampingan menunjukkan berbagai kondisi baik awal pendirian sampai dengan nasib BUMDES saat ini betapa beratnya mendongkrak kesuksesan usaha. Mayoritas BUMDES yang kami dampingi bergeming untuk menyusun SKB diawal pendirian sehingga berdiri berjalan dengan dengan kesan “apa adanya”.

Ada yang secara aspek teknis geografis (berupa sumber daya alam spot wisata) dan pasar menguntungkan namun progress berhenti dalam pengembangan yang seharusnya diikuti dengan dukungan anggaran penyertaan modal desa. Pemerintah Desa beralasan karena lemahnya SDM yang dimiliki dan besarnya biaya yang akan ditimbulkan padahal belum membuat SKB yang dapat menunjukkan realistis skema pengembangan dan dana yang layak digelontorkan. Mayoritas juga BUMDES desa dampingan yang membangun usaha toko desa, namun perlahan melemah diikuti dengan kerugian demi kerugian yang terjadi dan akhirnya ditutup. Faktor dukungan kebijakan Pemerintah Desa terhadap kesejahteraan pengelola (berupa gaji dan/ tunjangan) sangat minim dengan alasan akan membebani banyak biaya, sehingga akhirnya SDM pengelola BUMDES menjadi tidak bekerja maksimal.

Sehingga sekian banyak asumsi dan alasan Pemerintah Desa yang terjadi diatas tidak “liar” karena belum pernah menyusun SKB dan mengkajinya. Misalkan usaha sektor jasa wisata, dibanding sektor perdagangan secara umum memiliki margin keuntungan yang besar dan berlipat dalam arus kas tahunannya meski memiliki tingkat BEP yang cukup lama (tahunan) karena harus mengawali dengan pembangunan infrastrukturnya. Dengan pengelolaan yang baik, kreatif dan inovatif maka tentu akan dapat mempercepat balik modal. Berbeda dengan sektor perdagangan, dengan tingkat balik modal yang cepat namun tingkat keuntungan cukup moderat tergantung kekuatan raihan omzetnya.

Contohnya BUMDES Sumber Sejahtera, Pujon Kidul Kab. Malang, Jatim merupakan salah satu BUMDES yang sukses saat ini. Dari berbagai unit usahanya mampu menyumbang Pendapatan Asli Desa (PAD) rata-rata sejumlah 1,7 Miliar/tahun yang diserahkan ke desa. Dengan memiliki 10 unit usaha, di antaranya Air Meterisasi, Tabungan Masyarakat, Kredit Usaha Mikro, Cafe, Wisata Edukasi, Pengolahan Sampah Terpadu, Pertanian dan yang terbaru adalah Live In/Guest House4[3]. Didirikan pada tahun 2015, artinya kurang lebih hanya butuh waktu 5 tahunan efketif untuk meraup keuntungan besar untuk dibagi ke PAD.

Sekali lagi, penyusunan SKB bukan untuk memastikan bahwa sebuah bisnis pasti akan untung, namun ketika sudah menyusun SKB maka dapat dilihat aneka kajian di dalamnya yang berisi kalkulasi-kalkulasi bisnis yang efektif dan bisa dipilih oleh BUMDES agar bonafid (menguntungkan). Apalagi jika dikataitkan dengan adanya Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa, tersebut dalam lampiran poin E peraturan ini terkait evaluasi pengajuan Rancangan Perdes APBDES menyebutkan “hasil analisa kelayakan penyertaan modal BUMDES” adalah dokumen penunjang yang harus dipenuhi.

Tidak ada jaminan memulai usaha akan berakhir sukses besar, memulai mendirikan dan mengembangkan BUMDES adalah jalan yang baik untuk memajukan gerakan ekonomi desa namun harus dibarengi dengan perencanaan usaha yang matang dan komprehensif. Dan memulai atau merevisi langkah bisnis (bagi BUMDES yang sudah berjalan) dengan menyusun SKB sebagai panduan adalah jawabannya. Agar Pemerintah Desa tidak berjalan di lorong gelap pasar usaha dan terjebak asumsi-asumsi yang menakutkan. Karena seorang yang berwirausaha adalah seorang yang berjiwa “Wira”(keinginan keras) nan terukur.


* penulis adalah Tenaga Pendamping Profesional (TPP) Kab Malang Jatim

[1] Kasmir dan Jakfar, 2003, Studi Kelayakan Bisnis, Cetakan Pertama (Bogor, Kencana, 2023)

[2] https://www.idxchannel.com/milenomic/daftar-perusahaan-besar-yang-bangkrut-di-indonesia-ada-kodak-hingga-nyonya-meneer

[3] https://www.merdesanews.com/2022/08/03/bumdes-pujon-kidul-sumbang-pad-rp-17-m-tahun/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *