Bincang cak Maulana : Sejarah Malam Satu Suro

0

Malam 1 Suro bagi orang Jawa memiliki arti khusus, wingit, sakral dan mistis. Pada malam ini di berbagai daerah melakukan ritual dan selamatan dengan berbagai cara, mulai yang hanya sekedar tumpengan, sedekah bumi, keliling kampung sampai istighosah dan baca doa awal dan akhir tahun. Yang mengawali peringatan malam satu suro ini adalah Raja terbesar Mataram Islam yaitu Gusti Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Sebelum itu masyarakat Jawa memakai sistem penanggalan tahun Saka yang diwariskan dari tradisi Hindu, sedangkan Kesultanan Mataram Islam sudah menggunakan sistem kalender Hijriah. Sultan Agung yang ingin memperluas ajaran Islam di Tanah Jawa berinisiatif memadukan kalender Saka dengan kalender Hijriah menjadi kalender Jawa.

Disamping itu untuk konsolidasi kekuatan antara kejawen dan santri (islam) dalam rangka penyerbuan VOC di Batavia maka dilakukan Penyatuan kalender Jawa dan Hijriyah. Maka dimulai sejak Jumat Legi bulan Jumadil akhir tahun 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi. Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Suro yang bertepatan pula dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Hijriah. Hari itu dirayakan besar besaran sambil menyerukan perang atas VOC di Batavia.

Nama nama hari Jawa (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) tetap dipakai. Dalam seminggu ada 5 hari yang disebut sepasar atau sepeken yang kemudian di Indonesia-kan menjadi sepekan. Hari Jawa digabung dengan nama hari yang di pakai orang Arab dalam kalender Hijriyah. Sebenarnya orang Arab tidak punya nama Hari yang spesifik, mereka menyebutnya hari ke 1, ke 2, ke 3 dan seterusnya, yang dalam bahasa Arab disebut ahad ( ke 1), isnain (ke 2), salasa (ke 3) dan seterusnya. Kecuali Hari ke 6 yang seharusnya sittatun diberi nama khusus menjadi jum’at dan ke 7 disebut sabtu derivasi dari sab’atun yang artinya tujuh.

Hari hari Arab ini dijawakan oleh Sultan Agung menjadi Ahad, senin, seloso, rebo, kemis, jumat dan sabtu. Atas pengaruh bahasa melayu yang terpengaruh portugis lambat laun Ahad menjadi Minggu. Di kalangan santri dan orang-orang tua pedesaan di kampungku nama ahad untuk menyebut hari minggu masih sering dipakai.

Untuk mengontrol pemerintahan Mataram Sultan Agung mengadakan laporan pemerintahan yang dilakukan setiap hari Jumat Legi. Selain itu, kegiatan tersebut juga disertai dengan pengajian sekaligus ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel (Sunan Ampel) dan Giri. Kegiatan inilah yang menjadi cikal bakal kesakralan malam 1 Suro.


Maulana Sholehodin yang akrab dipanggil Cak Maulana adalah tokoh pemikir yang berasal dari Krikilan Kalipang Pasuruan, Jawa Timur. Tokoh yang telah malang melintang dalam dunia pemberdayaan masyarakat desa dan juga pakar hukum ini merupakan pribadi yang unik dengan segala pemikirannya menelaah fenomena sosial di masyarakat, kajiannya kuat dalam berliterasi dan mencerahkan pandangan publik. Selain aktif dalam advokasi hukum di masyarakat, tokoh Nahdliyyin ini juga menjabat sebagai Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat Desa – Kemendesa PDTT, tingkat Jawa Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *